Kopi TIMES

Hypereality: Masyarakat Siber, Gadget dan Alienasi

Senin, 04 Januari 2021 - 20:33
Hypereality: Masyarakat Siber, Gadget dan Alienasi Alfin Dwi Rahmawan, Mahasiswa Sosiologi Universitas Bangka Belitung.

TIMES LAMONGAN, BANDUNG – Dewasa ini, konsumsi bukan hanya dikaitkan dengan kebutuhan nutrisi secara biologis tetapi lebih dari itu, yakni sebuah pendekatan ideologi, cara pandang, dan sistem nilai yang secara keseluruhan didorong oleh ideologi konsumerisme.

Meminjam istilah dari Sosiolog Amerika Robert G. Dunn, konsumerisme sebagai sebuah ideologi yang merayu orang-orang masuk pada sistem produksi massal. Melihat perilaku individu mengonsumsi bukan hanya sebagai praktik tetapi tujuan yang menjadi dasar identitas dan pemaknaan tentang diri. 

Fenomena yang cukup dekat dengan kita dengan hadirnya aneka peralatan elektronik yang mengakibatkan gaya hidup digital. Dengan kemajuan teknologi yang pesat, Jean Baudrillard menyebutkan bahwa masyarakat kontemporer saat ini berada pada era postmodern, suatu kondisi dimana masyarakat tidak lagi memandang apa yang sebenarnya dibutuhkan, tetapi lebih mengedepankan prestise dan gaya hidup sebagai citra diri dari apa yang dibutuhkan. Kehadiran seperti gadget yang merupakan sebuah benda yang digerakkan oleh seperangkat mesin yang menjadi lambang dari masyarakat industri bahkan menjadi post-industri. 

Dalam kenyataannya gadget menjadi sebuah alat konsumsi melalui hilangnya secara relatif fungsi objek (sebagai alat rumah tangga) demi sebuah fungsi tandanya (menjadi hal yang berguna). Tetapi penggunaan gadget sebagai fungsi tanda menimbulkan dehumanisasi pada tubuh masyarakat. Mengingat saat ini juga dunia memasuki era revolusi industri 4.0, yang menandakan bahwa tidak ada satu pun sudu di dunia yang tidak luput dari dampak dan perubahan yang diakibatkan dari disrupsi teknologi ini.

Perubahan Komunikasi dan Budaya

Kehilangan identitas diri di dalam kehidupan yang nyata kemudian akan membawa seseorang ke dalam situasi terjebak dengan kondisi apa yang disebut dengan cybercommunity atau masyarakat siber. Teknologi media baru yang sangat giat digunakan menjadi sebuah arena untuk mencari identitas dan membentuk sebuah citra diri. Arus perkembangan teknologi inilah yang menjadikan manusia lupa terhadap realitas sosial yang sesungguhnya dan membawa efek negatif bagi kehidupan manusia di dunia nyatanya. Hal ini dikarenakan mereka terkungkung ke dalam realitas semu yang disebut dengan hiperealitas (hypereality). 

Dunia hiperalitas merupakan dunia dimana sebagai simulakrum, dimana semua penampakan yang didapatkan merupakan sebuah objek yang tercabut dari realitas sosialnya, atau sama sekali tidak mempunyai realitas sosial. Teknologi yang seharusnya menjadi alternatif mendekatkan yang jauh menjadi sebuah kenyataan yakni menjauhkan yang dekat.

Masyarakat terutama generasi yang disebut dengan generasi Z menjadi pengguna yang sangat aktif, generasi yang lahir dimana teknologi sudah berada di lingkungannya (digital native). Berdasarkan pengamatan penulis dalam menggunakan media sosial generasi ini menjadi pelaku utama dalam menerapkan perilaku masyarakat siber. 

Masyarakat siber atau masyarakat maya, atau yang sering disebut dengan warganet/Netizen memiliki cara tersendiri dalam berkomunikasi.

Komunikasi yang dilakukan merupakan suatu proses interaksi simbolik. Memberikan tanda-tanda dan simbol bukan hanya berupa pesan teks secara langsung. Kajian interaksi simbolik seperti yang diketahui tertarik pada cara manusia menggunakan simbol yang merepresentasikan apa yang mereka maksudkan untuk berkomunikasi dengan sesamanya, juga pengaruh yang ditimbulkan oleh penafsiran simbol-simbol tersebut terhadap perilaku pihak-pihak yang terlibat dalam interaksi sosial. 

Kita bisa melihat perilaku dari masyarakat siber ini dalam penggunaan media-media baru. yang saat ini menjadi primadona. Instagram, Twitter, Tiktok bahkan aplikasi lainnya yang diunduh jutaan kali oleh pengguna gadget. Terutama instagram, instagram agaknya merupakan salah satu media baru yang ikut menyumbangkan sebuah kebiasaan baru dalam menciptakan masyarakat siber. Aplikasi-aplikasi seperti ini mendorong perilaku masif bagi penggunanya untuk melakukan segala aktifitas di dalamnya.

Saya mencoba melakukan serangkaian observasi singkat terhadap beberapa remaja dalam aktivitasnya menggunakan sosial media Instagram. Saya mencoba melihat perilaku remaja yang selama ini aktif berselancar di dunia instagram. Mereka yang menjadi pengguna aktif dengan beberapa alasan tertentu. Alasan-alasan ini biasanya dipengaruhi oleh dorongan atas keinginan dari remaja tersebut dan juga dari pengaruh lingkungannya.

Dorongan ini didukung karena menganggap instagram sebagai ruang publik bagi remaja. Remaja dapat menghabiskan waktu berjam-jam untuk menggunakan aplikasi sosial media instagram. Mereka dengan leluasa menggunakan aplikasi tersebut, entah untuk mengunggah atau berbagi cerita, foto, video, atau hanya sekadar memberikan komentar di akun teman mayanya.

Media baru seperti ini merupakan sebuah hibridasi dari kemampuan media-media konvensional yang selama ini kita kenal. Sehingga hal ini dapat membentuk media dengan dimensi ganda. Seperti yang dikatakan Holmes dalam bukunya “Virtual Politics: Identity & Community Cyberspace” mengungkapkan bahwa ruang maya merupakan dunia dimana terbentuk nilai budaya yang terbentuk melalui interaksi keseharian diantara penggunanya melalui mediasi teknologi. Ruang siber ini memungkinkan terjadinya pertukaran makna dan membentuk sebuah realitas dan identitas baru di dalam penggunanya. 

Alhasil, perubahan wujud komunikasi ini merupakan determinasi dari sebuah kemajuan sosial. Tetapi di satu sisi, penemuan teknologi informasi ini juga memberikan dampak pada perubahan sosial hingga perubahan terkecil yakni perilaku  pada diri individu. 

Dari Konsumerisme Menuju Alienasi

Hingga pada akhirnya, pencaharian identitas yang melibatkan penggunaan atas teknologi mutakhir menciptakan kelas masyarakat maya. Perilaku-perilaku pengguna sosial media didukung oleh pembaharuan yang dilakukan oleh pengelola media sosial. Kecanggihan ini membuat para pemakai mendapatkan segalanya ketika mereka aktif melakukan interaksi di dalamnya.

Aktivitas simpelnya ialah seperti kolom komentar, pesan langsung, jumlah follower dan fitur-fitur lain yang ada di dalamnya. Mereka yang telah terkungkung oleh kenikmatan arus sosial media akan merasakan kesenangan jika mendapatkan komentar yang beragam di sosial media, menampilkan unggahan foto atau video yang dirasakan menarik dan memantik banyak komentar. 

Tentu hal ini menciptakan sebuah kebiasaan baru di kalangan masyarakat maya, terutama masyarakat maya dengan rentang usia remaja yang memiliki kemungkinan lebih besar teralienasi di dunia nyatanya. Aktualisasi dan eksistensi diri menjelma di dalam masyarakat jaringan (Network Society), gejala yang asyik sendiri tapi tidak merasakan kesepian. Hal inilah yang disebut dengan alienasi (keterasingan) sosial. 

Agaknya dewasa ini, aplikasi media baru bertanggung jawab atas perubahan perilaku masyarakat terutama para remaja. Menciptakan kehidupan baru struktur masyarakat guna pemenuhan kebutuhan pencarian identitas yang berujung pada teralienasinya identitas diri seseorang di dalam realitas sosialnya. Alienasi seperti yang dikemukan oleh sosiolog klasik Karl Marx sebagai suatu keterasingan. Keterasingan ini merujuk pada alienasi diri dari keluarga, lingkungan benda, bahkan diri sendiri. Keterasingan yang diakibatkan dari penggunaan aplikasi media baru ini membuat kita semakin jauh dari realitas-realitas manusia sebagai makhluk individu maupun sosial. Semua yang dilakuan di dalam aktifitas onlinenya merujuk pada kesadaran palsu saja.

Seperti yang diungkapkan oleh Karl Marx terkait konsep kesadaran ini adalah “Bukan kesadaran seseorang yang menentukan keberadaannya, melainkan keberadaan sosial yang menentukan keberadaanya”. Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa masyarakat siber keberadaanya sudah direpresentasikan oleh media internet. Hal ini tentu telah membentuk sebuah kultur dan sebuah kehidupan sosial sendiri.

Dunia teknologi informasi akan terus berkembang seiring penggunaan internet yang tumbuh secara pesat. Alienasi atau keterasingan ini akan terus melanda bagi mereka yang menciptakan kehidupan sosial di media sosial atau ruang maya. Aktualisasi di media online menjadi penanda sosial bahwa di kehidupan nyata esensi diri seseorang akan tergerus. Para generasi yang terus mengakses dan mengaplikasikan gadget sebagi fungsi tanda membutuhkan usaha yang lebih keras agar kedua dunia yang mereka lakukan seimbang dan tidak terjebak dalam masyarakat siber yang semu. 

***

*) Oleh: Alfin Dwi Rahmawan, Mahasiswa Sosiologi Universitas Bangka Belitung.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*)Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 6.000 karakter atau sekitar 800 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*)Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta :
Editor : Ronny Wicaksono
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Lamongan just now

Welcome to TIMES Lamongan

TIMES Lamongan is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.