TIMES LAMONGAN, LAMONGAN – Di antara hijaunya perbukitan di Kecamatan Paciran, Lamongan, tersimpan jejak budaya yang diwariskan turun-temurun. Jejak itu tak sekadar bangunan tua atau cerita lisan, melainkan sehelai kain yang lahir dari tangan-tangan sabar warga Desa Sendangduwur. Kain itu dikenal dengan nama Batik Sendang - warisan budaya yang terus dijaga, ditenun dengan makna filosofis, dan kini menjadi bagian dari identitas masyarakat.
Motif batik Sendang lahir dari kehidupan sehari-hari masyarakat desa. Anyaman bambu yang dahulu menjadi dinding rumah warga tergambar dalam motif Gedhek. Motif Gunungan melambangkan keterikatan manusia dengan alam, sementara Iwak Bandeng menjadi simbol kekayaan pesisir Lamongan yang dikenal sebagai sentra bandeng nasional.
“Batik Sendang bukan hanya kain. Setiap motif adalah cerita, setiap titik adalah doa. Inilah cara leluhur kami meninggalkan pesan hidup yang bisa diwariskan kepada generasi berikutnya,” tutur Syarifuddin Miftah, Ketua Pokdarwis Paduraksa Desa Sendangduwur, Sabtu (11/10/2025).
Bagi warga, membatik adalah bahasa ekspresi sekaligus ibadah. Konon, tradisi ini sudah mulai tumbuh sejak era Sunan Sendang Duwur, ulama penyebar Islam di wilayah ini. Sejak itu, seni membatik menjadi sarana syiar, menggabungkan nilai religius dengan estetika budaya Jawa.
Di era modern, banyak batik diproduksi dengan pewarna sintetis. Namun, sebagian perajin Batik Sendang masih setia menggunakan pewarna alami. Daun jati yang menghasilkan warna merah kecokelatan, kulit mangga yang memberi rona kekuningan, hingga akar mengkudu yang menghadirkan nuansa merah alami, menjadi bahan utama dalam proses pewarnaan.
Proses ini memang memakan waktu lebih panjang. Setelah dicanting dengan malam panas, kain harus berulang kali direbus dan direndam dalam larutan pewarna. Tetapi hasilnya adalah warna teduh yang awet, seolah menyimpan kesabaran pengrajinnya.
“Warna alami membuat batik terasa lebih hidup. Selain ramah lingkungan, teknik ini juga menunjukkan filosofi bahwa kesabaran akan menghasilkan keindahan,” ucap Syarifuddin.
Meski lahir dari desa kecil, Batik Sendang perlahan menembus panggung lebih luas. Beberapa desainer lokal mulai meliriknya untuk koleksi busana. Bahkan, saat dikenakan dalam ajang pameran, batik Sendang berhasil menarik perhatian karena motifnya yang khas, berbeda dengan batik pesisir pada umumnya.
Keunikan itu pula yang mendorong Pokdarwis Paduraksa untuk menjadikan batik sebagai salah satu daya tarik wisata budaya. Wisatawan yang datang ke Desa Sendangduwur bisa langsung melihat proses membatik, mencoba mencanting, hingga membeli kain hasil karya perajin. Aktivitas ini sekaligus memberi nilai tambah bagi ekonomi warga.
“Dengan wisata edukasi batik, kami berharap generasi muda ikut mencintai dan melestarikan warisan ini. Batik Sendang harus menjadi kebanggaan, bukan hanya komoditas,” ujar Syarifuddin.
Meski memiliki keunikan, jalan batik Sendang tidak selalu mulus. Persaingan dengan batik printing murah kerap membuat pengrajin kesulitan menembus pasar. Belum lagi, regenerasi perajin juga menjadi tantangan tersendiri. Banyak anak muda lebih memilih bekerja di kota daripada melanjutkan tradisi membatik.
“Kalau tidak ada perhatian, batik Sendang bisa kalah oleh produk pabrikan. Karena itu, kami berusaha mem-branding dan mempromosikannya lewat pameran, media sosial, hingga kerja sama dengan desainer,” kata Syarifuddin.
Pokdarwis Paduraksa kini aktif menggelar pelatihan, mengundang pelajar dan mahasiswa untuk belajar langsung membatik. Harapannya, semakin banyak generasi muda yang mengenal proses panjang di balik sehelai kain, sehingga tumbuh rasa bangga sekaligus tanggung jawab untuk melestarikannya.
Lebih dari sekadar kain, Batik Sendang adalah identitas budaya yang menjadi perekat masyarakat. Setiap kali dipamerkan dalam peragaan busana atau dikenakan dalam acara resmi, batik Sendang membawa pesan: bahwa dari sebuah desa di lereng Paciran, lahirlah karya seni yang mampu berbicara di panggung nasional, bahkan internasional.
Bagi warga Sendangduwur, membatik adalah cara merawat memori kolektif. Guratan canting, tetesan malam, dan sabarnya proses pewarnaan menjadi simbol bagaimana mereka menghadapi hidup: telaten, penuh doa, dan berakar pada nilai tradisi.
“Selama ada orang yang mau memakai dan bangga dengan batik Sendang, kami percaya warisan ini tidak akan punah,” ujar Syarifuddin. Dan begitulah, Batik Sendang terus hidup. Dari canting yang menggores, dari malam yang meleleh, hingga menjelma kain indah yang tak lekang oleh zaman.
Namun, menjaga warisan tak cukup hanya dengan melestarikan. Zaman terus bergerak, pasar menuntut, dan tradisi perlu dirawat lewat inovasi. Dari semangat itu lahir pengembangan Batik Sendang melalui kemasan ramah lingkungan, hasil kolaborasi dosen dan mahasiswa FKIP Universitas Islam Lamongan (Unisla) bersama Pokdarwis Paduraksa dalam program Pengabdian kepada Masyarakat (PKM).
Dalam program bertajuk “Pemberdayaan Pokdarwis Paduraksa: Mengembangkan Desa Wisata Berkelanjutan dengan Ekonomi Kreatif Berkearifan Lokal menuju SDGs Desa” yang dipimpin Nur Ilmayasinta, dosen Pendidikan Matematika, bersama Silvi Rosiva Rosdiana (Pendidikan IPA) dan Mukhtarul Anam (Pendidikan Bahasa Inggris). Sejumlah mahasiswa juga terlibat, di antaranya Ulifatur Rochmatin, Siti Masyiatul Istiqomah, Qonita Qurotul Aini, dan Wa Uni Salma La Uda ini, masyarakat dilatih membuat kemasan zero plastic eco friendly untuk produk Batik Sendang.
“Batik Sendang memiliki potensi besar untuk dikembangkan sebagai produk ekonomi kreatif sekaligus pelestarian budaya,” kata Maya.
Di Pendopo Cendhani, Desa Sendangduwur, anggota Pokdarwis dan perangkat desa dilatih membuat kemasan buatan tangan berbahan ramah lingkungan. Meski beberapa hasil masih perlu penyempurnaan, seluruh peserta mampu menyelesaikan produknya secara mandiri. Tujuannya bukan sekadar memperindah tampilan, tapi memperkuat citra agar lebih menarik di mata pembeli dan wisatawan. Batik kini bukan hanya simbol budaya, melainkan juga gerakan peduli lingkungan.
.Selain pelatihan teknis, peserta juga belajar branding produk-mulai dari logo hingga desain stiker kemasan yang mencerminkan identitas Batik Sendang. Dari sinilah tumbuh semangat baru: tradisi dan inovasi bisa bersatu tanpa saling meniadakan.
“Melalui kemasan ramah lingkungan dan desain merek yang menarik, citranya dapat meningkat dan dikenal lebih luas,” ujar Nur Ilmayasinta, Ketua Tim PKM FKIP Unisla.
Program ini merupakan bagian dari Pemberdayaan Kemitraan Masyarakat yang didanai Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Ditjen Riset dan Pengembangan, Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi. Dukungan ini memperkuat komitmen FKIP Unisla dalam mendukung Sustainable Development Goals (SDGs) Desa, khususnya bidang ekonomi kreatif dan pelestarian budaya.
Melalui sinergi akademisi dan masyarakat, Batik Sendang sekarang tak sekadar warisan, tetapi juga aset ekonomi berkelanjutan. Sendangduwur pun membuktikan bahwa tradisi dan keberlanjutan dapat berjalan beriringan - menenun masa depan yang hijau, berdaya, dan bermakna. (*)
Pewarta | : Moch Nuril Huda |
Editor | : Imadudin Muhammad |