TIMES LAMONGAN, LAMONGAN – Fenomena korupsi di Indonesia bukanlah cerita baru, tetapi tetap saja menghadirkan luka mendalam bagi masyarakat. Luka itu semakin terasa ironis ketika praktik busuk tersebut terjadi di lembaga yang seharusnya menjadi teladan moral dan spiritual: Kementerian Agama (Kemenag).
Korupsi di Kemenag menimbulkan pertanyaan mendasar: bagaimana mungkin lembaga yang mengurus agama sebuah ranah yang identik dengan nilai kejujuran, akhlak mulia, dan integritas justru terjerat praktik kotor? Sebagai institusi yang mengelola pendidikan keagamaan, penyelenggaraan ibadah, hingga pembinaan umat, Kemenag seharusnya menjadi garda depan dalam menegakkan moralitas.
Sayangnya, realitas yang tersaji kerap memperlihatkan sebaliknya. Agama hanya menjadi retorika indah yang dikumandangkan di ruang publik, sementara praktik koruptif berjalan diam-diam di balik layar.
Secara normatif, semua agama menolak korupsi. Islam, misalnya, menekankan pentingnya sidq (kejujuran), amanah, serta larangan memakan harta orang lain dengan cara batil. Nilai-nilai ini mestinya menjadi fondasi dalam membangun masyarakat yang adil.
Namun kasus-kasus korupsi di Kemenag menunjukkan jurang yang lebar antara ajaran agama (das Sollen) dan perilaku pengembannya (das Sein). Agama berhenti pada simbol dan seremoni, tanpa menjelma dalam tindakan nyata.
Tidak heran jika publik kecewa. Bagaimana mungkin pejabat yang setiap hari menyampaikan pesan moral dan religius justru tersandung kasus penyalahgunaan wewenang, mark-up anggaran, hingga suap dalam proyek pendidikan keagamaan maupun haji? Kontradiksi ini menegaskan bahwa agama kerap diperlakukan sebagai legitimasi politik dan alat pencitraan, bukan sebagai pedoman moral.
Faktanya, sejumlah kasus besar telah mencoreng citra Kemenag. Skandal pengadaan Al-Quran, penyalahgunaan dana haji, hingga suap jabatan struktural membuktikan bahwa korupsi di lembaga ini bukan peristiwa insidental, melainkan fenomena sistemik.
Anggaran miliaran rupiah yang sejatinya untuk kepentingan umat justru dirampok oleh mereka yang mengaku berkhidmat untuk agama. Polanya berulang: lemahnya pengawasan internal, kuatnya budaya patronase, serta praktik jual beli jabatan.
Lebih dari itu, korupsi di Kemenag tidak bisa dilepaskan dari praktik menjadikan agama sebagai komoditas politik. Dalam setiap kontestasi elektoral, agama kerap dijadikan jargon untuk meraih simpati publik. Pejabat publik tak segan mengutip ayat-ayat suci atau istilah religius, tetapi perilakunya jauh dari nilai yang diucapkannya.
Inilah paradoks yang berbahaya: semakin sering agama dijadikan slogan, semakin besar pula risiko ia diperalat untuk menutupi praktik korupsi. Retorika kosong itu menipu masyarakat, merusak kepercayaan publik, bahkan berpotensi menggerus otoritas moral agama itu sendiri.
Dampak dari korupsi di Kemenag sangat luas. Dari sisi materiil, kerugian negara begitu besar karena anggaran yang mestinya digunakan untuk kesejahteraan umat hilang begitu saja. Dana pendidikan, pembangunan tempat ibadah, hingga penyelenggaraan haji yang dikorupsi jelas berimplikasi langsung pada buruknya pelayanan publik.
Dari sisi psikologis, kepercayaan masyarakat terhadap institusi agama semakin menurun. Bagaimana masyarakat bisa percaya pada pesan moral jika lembaga agamanya sendiri terlibat praktik nista?
Pada saat yang sama, dampak moral juga tidak bisa diabaikan. Generasi muda kehilangan teladan, tumbuh dengan rasa apatis dan sinis terhadap agama karena menyaksikan pejabat religius justru mengkhianati amanah.
Jika ditelusuri lebih dalam, akar masalahnya ada pada sistem birokrasi dan kultur politik yang melingkupi Kemenag. Regulasi dan pengawasan internal sering kali lemah, mekanisme audit berjalan setengah hati, dan ruang manipulasi anggaran begitu longgar.
Budaya patronase memperburuk keadaan karena jabatan strategis diisi bukan atas dasar kompetensi, melainkan karena kedekatan politik dan hubungan personal. Tidak jarang, intervensi partai politik menjadikan Kemenag sebagai “lahan basah” untuk proyek dan jabatan. Inilah ekosistem koruptif yang sulit diberantas tanpa reformasi menyeluruh.
Untuk keluar dari lingkaran setan ini, Kemenag harus berani melakukan transformasi serius. Pengawasan internal harus diperkuat dan melibatkan lembaga independen, sementara transparansi anggaran perlu dibuka seluas-luasnya agar masyarakat bisa ikut mengawasi. Reformasi birokrasi berbasis merit system harus dijalankan agar jabatan diberikan pada mereka yang benar-benar berintegritas dan berkompeten.
Namun, langkah yang paling penting adalah mengembalikan agama pada hakikatnya: pedoman moral yang hidup, bukan sekadar slogan politik. Nilai kejujuran, amanah, dan keadilan harus diinternalisasi secara nyata dalam budaya kerja Kemenag. Teladan yang bersumber dari pejabat publik akan memberi dampak jauh lebih kuat ketimbang seribu kata di podium.
Fenomena korupsi di Kemenag memperlihatkan betapa jauhnya birokrasi dari nilai-nilai agama yang seharusnya ia bawa. Agama telah direduksi menjadi jargon, sementara makna substansialnya hilang dalam perilaku nyata. Kasus-kasus ini harus menjadi peringatan keras: moralitas tidak cukup diucapkan, ia harus diwujudkan.
Jika Kemenag ingin merebut kembali kepercayaan publik, reformasi menyeluruh adalah jalan tak terhindarkan. Agama tidak boleh diperlakukan sebagai topeng politik, melainkan harus kembali menjadi sumber moralitas yang menuntun integritas dan keadilan.
***
*) Oleh : Anshori, Dosen Fakultas Hukum Universitas Billfath Lamongan.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |