https://lamongan.times.co.id/
Opini

KH Abdullah Mujib Hasan, Kiai Arsitek Tanpa Gelar Akademik

Jumat, 03 Oktober 2025 - 19:32
KH Abdullah Mujib Hasan, Kiai Arsitek Tanpa Gelar Akademik Alfaqir Syihabuddin Ahmad, Santri Mbetik Ma’had Darul Fiqhi.

TIMES LAMONGAN, LAMONGAN – Dalam peta pesantren di Jawa Timur, nama KH Abdullah Mujib Hasan tercatat bukan hanya sebagai pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Darul Fiqhi, Ngepung Rejosari, Deket, Lamongan, melainkan juga sebagai sosok yang unik. 

Ia bukan sekadar ulama yang mengajarkan ilmu agama, melainkan juga seorang “arsitek tanpa gelar akademik.” Dari tangan dan pikirannya lahir bangunan pesantren yang kokoh, estetik, dan sarat makna, meski ia tidak pernah mengenyam pendidikan formal di bidang arsitektur.

Kiai Mujib lahir pada 1 Juni 1962 di Desa Sidomukti, Manyar, Gresik. Gelar MA yang kerap melekat pada namanya bukanlah “Magister Agama,” melainkan “Manyar Asli,” sebagaimana pernah ia selorohkan saat berceramah di Pulau Bawean, sekitar 15 tahun silam. Gurauan ini seakan menegaskan bahwa identitasnya bukan pada gelar akademis, melainkan pada akar kultural yang membentuknya.

Berdirinya Pesantren Darul Fiqhi sendiri berangkat dari amanah besar KH Abdullah Faqih Langitan. Beliau diperintah untuk berdakwah di Ngepung, dan amanah itu diwujudkannya dengan penuh kesungguhan. 

Dari situlah tumbuh sebuah pesantren yang bukan hanya menjadi pusat ilmu agama, tetapi juga saksi dari kejeniusan seorang kiai yang mampu merancang bangunan megah dengan cita rasa arsitektural.

Arsitektur dari Tangan Kiai

Sulit dibayangkan di tengah arus dunia serba estetik, seorang kiai tanpa pendidikan formal arsitektur mampu menciptakan bangunan yang tertata dengan indah. Namun itulah yang dilakukan KH Abdullah Mujib Hasan. 

Setiap sudut bangunan pesantren Darul Fiqhi mencerminkan perencanaan matang: tata letak yang strategis, volume bangunan yang proporsional, hingga detail arah bangunan yang diperhitungkan dengan cermat. Tidak berlebihan jika banyak yang kemudian menyebutnya sebagai “Kiai Arsitek."

Lebih dari sekadar memberi instruksi, Kiai Mujib turun langsung ke lapangan, mengawasi setiap proses pembangunan. Ia membaca buku-buku teori arsitektur secara otodidak, kemudian menerapkannya dalam rancangan bangunan pesantren. 

Dari ruang belajar, asrama, hingga masjid, semua memiliki filosofi yang menghubungkan fungsi fisik dengan misi spiritual. Baginya, membangun pesantren tidak sekadar mendirikan dinding, melainkan merancang masa depan para santri.

Pernah suatu ketika, beliau berseloroh kepada santrinya: “Andai kiaimu ini dulu ditakdirkan Allah untuk kuliah, mungkin saat ini sudah menjadi arsitek terkenal.” Kalimat sederhana itu menyimpan pesan mendalam: bahwa dengan tekad dan keinginan kuat, manusia bisa menjadi apa saja, bahkan tanpa gelar resmi.

Teladan Tekad dan Etos Kerja

Bagi para santri dan alumni, Kiai Mujib adalah teladan. Ia bukan hanya mengajarkan kitab kuning dan tafsir kehidupan, tetapi juga menunjukkan etos kerja luar biasa. Kepemimpinannya hands-on, terlibat dalam setiap aspek kehidupan pesantren, mengajarkan bahwa keikhlasan, kerja keras, dan ketulusan mampu melahirkan karya besar.

Kiai Mujib membuktikan bahwa ijazah dan gelar akademis penting, tetapi bukanlah satu-satunya penentu kesuksesan. Pendidikan formal adalah jalan, bukan tujuan. Yang utama adalah kesungguhan hati, keberanian berusaha, dan niat yang lurus untuk pengabdian.

Sebagai alumni Langitan, Pondok Darul Fiqhi memang disebut-sebut sebagai “fotokopi” Ma’had Langitan. Kurikulum pengajarannya sama, disiplin keilmuannya seirama. Bedanya, Darul Fiqhi menambahkan pendidikan formal sebagai nilai plus, menjadikannya pesantren yang adaptif terhadap perkembangan zaman. Inilah kejelian Kiai Mujib: membangun pesantren dengan akar tradisi, tetapi tetap menatap masa depan.

Arsitektur Darul Fiqhi bukan hanya bangunan fisik, melainkan juga arsitektur sosial. Ia menata kehidupan santri dengan disiplin, menghubungkan ilmu agama dengan realitas sosial, dan membentuk kader-kader yang kelak berperan di tengah masyarakat.

Jejak yang Layak Diteladani

Kini, lima tahun setelah kepergiannya, jejak KH Abdullah Mujib Hasan tetap hidup. Haulnya bukan sekadar momentum doa, tetapi juga refleksi. Dari beliau kita belajar bahwa keterbatasan tidak pernah menjadi penghalang, asalkan ada tekad yang kuat. Dari beliau pula kita belajar bahwa pengabdian sejati bukan untuk mengejar gelar, melainkan untuk melahirkan manfaat.

Warisan terbesarnya bukan hanya bangunan megah atau pesantren yang berkembang, melainkan nilai-nilai keteladanan: keikhlasan, kerja keras, kepemimpinan yang merakyat, serta kesungguhan merancang peradaban melalui pendidikan.

KH Abdullah Mujib Hasan membuktikan, seorang kiai bisa sekaligus menjadi arsitek, meski tanpa gelar. Dan lebih dari itu, beliau membuktikan bahwa pendidikan sejati adalah yang menata hati, mengasah akal, dan memupuk tekad untuk terus berbuat.

Semoga kita semua mampu meneladani tradisi baik yang beliau goreskan dalam sejarah emas pengabdian, menjadikannya inspirasi untuk terus membangun bangsa dengan niat tulus dan dedikasi tanpa pamrih.

***

*) Oleh : Alfaqir Syihabuddin Ahmad, Santri Mbetik Ma’had Darul Fiqhi.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Lamongan just now

Welcome to TIMES Lamongan

TIMES Lamongan is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.