https://lamongan.times.co.id/
Opini

ISNU Menggerakkan Ilmu, Berkhidmah Mensukseskan Asta Cita

Rabu, 19 November 2025 - 23:51
ISNU Menggerakkan Ilmu, Berkhidmah Mensukseskan Asta Cita Prof. Dr. M. Afif Hasbullah, S.H., M.Hum., Plt. Ketua PW Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama Jawa Timur, dan Guru Besar Unisda Lamongan.

TIMES LAMONGAN, LAMONGAN – Dua puluh enam tahun bukanlah waktu yang pendek bagi sebuah organisasi intelektual. ISNU sejak lahir di Surabaya pada akhir 19 November 1999, telah berkembang menjadi rumah besar bagi para sarjana, akademisi, profesional, dan ilmuwan NU di seluruh Indonesia. 

Dalam usia seperempat abad lebih ini, ISNU telah hadir tidak hanya di tingkat PW, PC, dan PAC, tetapi juga merambah cabang khusus di kampus dan diaspora internasional.

Kelahiran ISNU pada hakikatnya adalah konsekuensi logis dari tradisi keilmuan NU. Sejak awal para pendiri NU menegaskan bahwa keberadaan ilmu harus menjadi pilar peradaban. Hadhratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari menulis dalam Adabul ‘Alim wal Muta’allim mengatakan bahwa “Ilmu harus diamalkan dan disebarkan untuk kemaslahatan masyarakat. Ilmu yang tidak diamalkan ibarat pohon yang tak berbuah.”

Hal ini sangat relevan dengan misi ISNU, yakni menggerakkan potensi intelektual nahdliyin agar menjadi energi sosial yang memberi manfaat nyata bagi umat dan bangsa. Bahkan, ketika tantangan bangsa semakin kompleks dan multidimensi seperti saat ini, mandat keilmuan itu justru menjadi semakin strategis. Inilah elan vital eksistensi ISNU.

Pada usia 26 tahun, ISNU bukan lagi organisasi yang sekadar menghimpun para sarjana. Ia telah menjadi simpul penting antara ilmu, kontrol kebijakan, dan pengabdian sosial. 

Dengan basis nilai ke-NU-an dan jaringan keilmuan lintas disiplin, ISNU memiliki semua prasyarat untuk tampil sebagai kekuatan strategis yang menopang agenda besar pembangunan nasional.

Untuk memahami posisi ISNU hari ini, kita perlu menengok warisan panjang intelektual NU dalam perjalanan bangsa. Sejak awal abad ke-20, para ulama NU telah berperan sebagai pembaru pemikiran, penggerak sosial, pejuang dan penjaga pilar kebangsaan.

Adalah KH. Abdul Wahab Chasbullah, penggerak jaringan diskusi Taswirul Afkar, yang dikenal sebagai sosok ulama, organisator, pedagang, dan aktivis pergerakan kemerdekaan. Ia ingin menjadikan NU sebagai organisasi yang tidak anti modernitas, tetapi mampu mensintesiskan nilai tradisi dan gagasan pemikiran keilmuan dan kebangsaan.

KH. Wahid Hasyim, salah satu arsitek kemerdekaan Indonesia, adalah tokoh pendidikan nasional yang meletakkan dasar kurikulum integratif antara pengetahuan umum dan keagamaan. 

Dalam pidatonya tahun 1944, putra pendiri NU ini menyatakan, “Kebodohan adalah musuh besar kemerdekaan. Bangsa merdeka memerlukan manusia-manusia terdidik yang berhati bening dan berpikir jernih.”

Di era modern, cendekiawan NU seperti K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) memperluas horizon keilmuan pesantren dan membawanya tampil ke panggung global. Tidak berlebihan apabila Pengamat NU asal Australia, Greg Fealy, kemudian menyebut Gus Dur sebagai “Salah satu pemikir Islam paling berpengaruh di Asia Tenggara yang memadukan tradisi pesantren dengan pemikiran demokrasi global.”

Masih banyak warisan pemikiran semacam itu yang dikemukakan oleh para intelektual NU pada masa lalu. Tidak heran, karena para pendiri dan penggerak NU sejatinya adalah para intelektual. Lebih tepatnya para ulama sebagai kalangan intelektual berbasis pesantren. 

Memang mereka tidak semua mengenyam pendidikan ala barat, namun para ulama itu terbukti mampu memberikan warisan pemikiran berdirinya suatu negara dan peletak fondasi dasar berdirinya suatu bangsa.

Hingga kemudian, semua menjadi legacy bagi fondasi nilai gerakan intelektual ISNU. Para sarjana NU tidak berdiri di ruang hampa. Mereka membawa DNA tradisi keilmuan yang disiplin, berakhlak, terbuka, dan berpihak pada kepentingan masyarakat, bangsa dan negara.

Harlah ISNU tahun ini mengambil tema “Menggerakkan Ilmu dalam Mewujudkan Asta Cita”. Tema ini bukan retorika. Ia mencerminkan kebutuhan konkret Indonesia di era transformasi besar-besaran. 

Asta Cita adalah delapan agenda pembangunan nasional Presiden Prabowo yang menuntut kontribusi berbagai elemen bangsa, termasuk kaum intelektual dari ormas terbesar di negeri ini.

Tema Menggerakkan ilmu terkandung makna membuat ilmu hidup, bekerja, dan memberi dampak. Maka ilmu harus melahirkan inovasi, melahirkan dan mengontrol kebijakan publik, mengurai persoalan sosial, memperluas akses masyarakat terhadap untuk bertumbuh dan sejahtera, dan meneguhkan karakter kebangsaan.

Inilah bagian dari makna tema harlah ISNU. Ia menuntut peran aktif, bukan sikap menonton. Sarjana ISNU harus menjadi pelaku, bukan menjadi pemirsa. Intelektual NU tidak boleh menjadi penonton dari orkestrasi pembangunan nasional. Mereka harus menjadi bagian dari aktor dan bahkan konduktor perubahan.

Antropolog dan pemerhati NU asal Arizona State University, Mark Woodward, mencatat bahwa: “NU memiliki modal sosial yang tidak dimiliki organisasi lain, karena NU mempunyai kombinasi modal sosial: antara legitimasi moral, jaringan akar rumput, dan kapasitas intelektual.” Jika modal itu diintegrasikan melalui ISNU, maka potensi kontribusinya terhadap Asta Cita akan sangat besar.

Sinergi Pentahelix sebagai Modal Pergerakan ISNU

Beberapa tahun terakhir, model kolaborasi pentahelix - pemerintah, akademisi, pelaku usaha, komunitas, dan media - menjadi paradigma pembangunan modern. ISNU berada pada posisi ideal untuk menjadi sumbu kelima unsur ini.

Pertama, kolaborasi dengan Pemerintah. ISNU memiliki kapasitas untuk menjadi policy advisor di berbagai level pemerintahan. Dengan kekuatan multidisiplin, ISNU dapat memberikan support analisis kebijakan, mengembangkan indeks dan riset sektoral, mengawal kebijakan publik berbasis riset dan data.

Dengan rekam jejak NU yang dikenal moderat, pemerintahan di tingkat pusat maupun daerah cenderung memberikan tingkat kepercayaan (trust) yang tinggi kepada ISNU. Trust ini harus dirawat melalui integritas, profesionalisme, dan disiplin keilmuan.

Kedua, Jejaring dengan Kampus dan Akademisi sangat penting. Karena kampus adalah jantung inovasi. ISNU selama ini juga telah terlibat dalam kegiatan ilmiah, pengabdian masyarakat, publikasi ilmiah bersama, penelitian kolaboratif, program literasi digital dan teknologi. Peran akademisi ISNU ke depan, perlu diperluas menjadi think tank dan pusat inovasi bagi umat.

Ketiga, kolaborasi dengan dunia usaha dalam rangka mendorong ekonomi berbasis intelektual. Asta Cita menekankan transformasi ekonomi berbasis inovasi. ISNU dapat iku berperan dalam mendampingi UMKM naik kelas, memperkenalkan teknologi pertanian dan energi, mengembangkan bisnis berbasis pengetahuan, membangun koperasi profesional. Kolaborasi dengan dunia usaha dan industri diharapkan akan mempercepat pemberdayaan masyarakat akar rumput.

Keempat, kolaborasi dengan media dalam rangka membentuk narasi publik yang positif. Di tengah disrupsi informasi, ISNU dapat memperkuat literasi kebangsaan, narasi moderasi beragama, opini kebijakan publik, maupun konten literasi digital. Media adalah arena pembentukan akal sehat publik. Untuk itu, keterlibatan sarjana NU menjadi sangat urgen.

Kelima, kolaborasi dengan komunitas di tengah masyarakat. ISNU mesti hadir sebagai bagian dari solusi permasalahan publik. Sebagai organisasi dengan kultur jam’iyyah, ISNU memiliki basis sosial yang luas. 

Program edukasi, kesehatan, dan pemberdayaan masyarakat dapat dikembangkan secara terintegrasi dengan struktur NU dari tingkat PW hingga Ranting.

Kontribusi ISNU untuk Asta Cita sebagai Agenda 

Melihat tantangan nasional, ISNU perlu memfokuskan peranan dalam delapan agenda pembangunan. Berikut beberapa peluang strategis yang realistis, relevan, dan berdampak:

Pertama, melalui pembentukan pusat data dan kebijakan (ISNU data & policy center), ISNU dapat menjadi rujukan pemerintah daerah maupun pusat dalam: kajian dan evaluasi APBD/APBN, rekomendasi kebijakan, ekonomi keumatan, tata kelola pemerintahan, dan pembangunan sosial.

Kedua, melalui program penguatan ekosistem inovasi dan teknologi untuk umat. ISNU dapat berperan untuk membantu Indonesia yang sedang memasuki era kecerdasan buatan (AI), big data, dan bioteknologi. 

Dalam hal ini ISNU bisa mengembangkan AI literacy di lembaga pendidikan, membuat modul etika teknologi berbasis Islam rahmatan lil ‘alamin, dan menghubungkan riset kampus dengan kebutuhan industri. 

Gagasan ini sejalan dengan pesan Gus Dur, “yang penting dari ilmu pengetahuan bukan hanya kecanggihan teknologinya, tetapi bagaimana ia membuat manusia lebih manusia.”

Ketiga, ISNU harus mengoptimalkan peran pada lingkup pendidikan dan kaderisasi intelektual NU. Pendidikan bagi warga NU terbukti sebagai kunci mobilitas sosial warga NU. 

Misalnya, ISNU dapat memfokuskan pada upaya network beasiswa, mentorship akademik, peningkatan kualitas dosen dan guru, riset pendidikan, pengembangan sekolah dan kampus unggul berbasis riset. 

Keempat, berperan dalam program ketahanan pangan dan energi. Asta Cita menempatkan ketahanan pangan sebagai agenda strategis nasional. Dengan jejaring para ahli pertanian, peternakan, teknologi pangan, dan energi terbarukan, ISNU dapat menciptakan model desa mandiri pangan, mengembangkan teknologi efisiensi energi, mendukung modernisasi pertanian ala pesantren.

Kelima, makin meningkatkan peran pada program penguatan ideologi kebangsaan dan moderasi beragama. Di tengah meningkatnya polarisasi sosial, ISNU dapat mengambil peran melalui pendidikan multikultural, literasi Pancasila, kajian geopolitik global, pelatihan moderasi beragama bagi generasi muda. 

Selama ini, peran bidang inilah yang paling menonjol yang dikedepankan oleh banyak aktifis NU. Tidak berlebihan jika Robert Hefner, pernah menilai NU sebagaai “Benteng moral Pancasila yang paling kuat di Indonesia.” ISNU harus mengawal peran ini dengan pendekatan ilmiah dan strategis.

Keenam, pemeranan ISNU dalam lingkup advokasi kesehatan dan ketahanan sosial. Misalnya, edukasi kesehatan publik, riset stunting dan kesehatan mental, mitigasi bencana berbasis komunitas.

Ketujuh, optimalisasi diplomasi intelektual internasional. Diaspora kalangan terpelajar NU sudah menyebar di berbagai kampus di dunia. Sebagai mahasiswa, dosen, maupun tenaga profesional. 

Untuk itu ISNU perlu mendirikan cabang di luar negeri sebagai jembatan pertukaran akademik, kolaborasi riset global, promosi Islam Nusantara sebagai soft power, penguatan peran diaspora NU.

Meneropong ISNU Masa Depan

Keberhasilan ISNU ke depan sangat ditentukan oleh kualitas karakter para anggotanya. Para pendiri NU selalu menekankan pentingnya integritas dan adab dalam perjuangan. KH. Maimoen Zubair pernah mengingatkan “Orang alim itu cirinya bukan banyak ilmunya, tetapi besar manfaatnya.”

Spirit inilah yang seharusnya menjadi dasar gerakan ISNU. Organisasi intelektual yang bermartabat, sama sekali bukan ditentukan oleh gelar akademik anggotanya, tetapi oleh kemanfaatan ilmunya, kedalaman akhlaknya, ketulusan khidmahnya, dan profesionalisme gerakannya. 

Dalam tradisi NU, nilai-nilai para ulama adalah spirit perjuangan, mata air kebijaksanaan. Karena itu, nasehat, arahan, dan bimbingan dari para masyayih serta senior ISNU harus selalu diperhatikan sebagai kompas berorganisasi.

Dengan segala modal sosial, intelektual, kultural, dan spiritual yang dimiliki, ISNU mempunyai peluang besar untuk menjadi aktor strategis dalam mewujudkan Asta Cita Indonesia. 

Indonesia sedang bergerak menuju masa depan yang penuh tantangan. Yakni transformasi teknologi, perubahan geopolitik, dan tuntutan peningkatan kualitas SDM.

Dalam situasi itu, Indonesia membutuhkan organisasi intelektual yang berpijak pada nilai, bekerja berdasarkan ilmu, berorientasi pada kemanfaatan publik, dan memiliki kedalaman moral. Kabar baiknya, semua kriteria tersebut ada dalam ISNU.

Oleh sebab itu, pada usia ke-26 ini, ISNU harus semakin percaya diri untuk mengambil peran lebih besar. Tidak cukup hanya menjadi forum diskusi akademik semata, namun ISNU harus menjadi motor perubahan, jembatan inovasi, dan penggerak solusi bagi umat dan bangsa. 

***

*) Oleh : Prof. Dr. M. Afif Hasbullah, S.H., M.Hum., Plt. Ketua PW Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama Jawa Timur, dan Guru Besar Unisda Lamongan.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Lamongan just now

Welcome to TIMES Lamongan

TIMES Lamongan is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.