https://lamongan.times.co.id/
Opini

Marsinah, Kepahlawanan yang Tak Pernah Minta Diakui

Selasa, 11 November 2025 - 16:40
Marsinah, Kepahlawanan yang Tak Pernah Minta Diakui Ike Nurul Fitrotus Shoimah, Ketua KOPRI PC PMII Lamongan 2024-2025.

TIMES LAMONGAN, LAMONGAN – Penyematan gelar Pahlawan Nasional kepada Marsinah, buruh perempuan yang dibunuh pada Mei 1993 karena memperjuangkan hak rekan-rekannya, menandai satu babak penting dalam sejarah keadilan sosial di Indonesia. 

Setelah lebih dari tiga dekade perjuangan panjang dari gerakan buruh dan kelompok masyarakat sipil, negara akhirnya mengakui perempuan muda yang berani menolak tunduk pada sistem yang menindas.

Namun di balik kabar penghargaan itu, ada pertanyaan yang lebih dalam: apakah negara hanya sedang mengabadikan namanya dalam seremoni, atau juga siap melanjutkan perjuangan yang dulu membuatnya dibungkam?

Marsinah adalah potret keteguhan seorang buruh yang menuntut hak upah layak sesuai keputusan gubernur Jawa Timur pada 1993. Ia menjadi bagian dari gelombang buruh yang menolak ketimpangan antara tenaga dan penghidupan.

Namun keberaniannya dibalas dengan kekerasan. Marsinah diculik, disiksa, dan ditemukan tewas di hutan Wilangan, Nganjuk. Selama bertahun-tahun, negara gagal menemukan pelaku utama. Proses hukum berjalan pincang, penuh intimidasi, dan ditutup dengan impunitas.

Kini, pengakuan negara datang terlambat. Tapi bagi gerakan buruh dan perempuan, pengakuan ini bukan akhir. Ini adalah pintu untuk menagih tanggung jawab yang lebih besar, keadilan struktural.

Menantang Narasi Kepahlawanan Maskulin

Selama puluhan tahun, narasi kepahlawanan Indonesia didominasi oleh figur laki-laki: berseragam, memanggul senjata, bertempur di medan perang. Marsinah mengubah itu semua. Ia tidak membawa bambu runcing, tapi memegang surat tuntutan upah. Ia tidak berjuang di medan perang, melainkan di ruang produksi, di bawah tekanan sistem kapitalisme dan patriarki yang saling menguatkan.

Marsinah mewakili dua lapisan perjuangan sekaligus perlawanan kelas dan perlawanan gender. Ia adalah simbol buruh perempuan yang digandakan bebannya: ditindas oleh sistem ekonomi yang tidak adil dan oleh budaya yang meremehkan suara perempuan.

Dengan tubuhnya yang ringkih, Marsinah mengguncang fondasi kekuasaan. Ia membuktikan bahwa pahlawan tidak selalu berasal dari gelanggang perang, ia bisa lahir dari ruang kerja, dari peluh, dari keberanian menolak diam.

Gelar Pahlawan Nasional memang memberi tempat bagi Marsinah di ruang sejarah, tapi belum tentu di ruang kebijakan. Di pabrik-pabrik, di industri garmen, di ruang kerja informal, wajah-wajah Marsinah masih banyak. Upah rendah, kontrak tak pasti, pelecehan seksual, dan pembungkaman serikat masih menjadi cerita sehari-hari.

Karena itu, penghormatan pada Marsinah seharusnya tidak berhenti pada seremoni. Negara perlu memastikan bahwa perjuangan yang ia bayar dengan nyawa benar-benar membuahkan perubahan, regulasi ketenagakerjaan yang berpihak pada buruh, penegakan hukum tanpa pandang bulu, serta perlindungan bagi perempuan pekerja yang sering dipinggirkan.

Marsinah seharusnya menjadi cermin bagi penyusunan kebijakan publik. Ia bukan sekadar simbol, tetapi pengingat bahwa buruh perempuan bukan korban, melainkan penggerak utama roda ekonomi nasional.

Marsinah dan Ingatan Perlawanan

Bagi banyak aktivis, Marsinah adalah ingatan kolektif tentang keberanian dan kejujuran di tengah tekanan. Ia mengajarkan bahwa perjuangan bukan hanya soal hasil, tapi tentang kesetiaan pada nilai keadilan.

Dalam konteks hari ini, ketika dunia kerja semakin dikuasai logika industri dan digitalisasi, nilai-nilai yang diperjuangkan Marsinah justru makin relevan. Perempuan pekerja di era digital menghadapi bentuk baru eksploitasi: gig economy, kontrak jangka pendek, dan penghapusan hak serikat dengan dalih efisiensi.

Jika Marsinah hidup hari ini, ia mungkin akan tetap bersuara melawan ketimpangan digital, memperjuangkan kesejahteraan yang lebih adil, dan menolak bentuk-bentuk penindasan baru yang lebih halus.

Penyematan gelar pahlawan bagi Marsinah memang layak dirayakan, tetapi lebih dari itu, harus dijadikan momentum reflektif: apakah kita masih memelihara struktur yang membuat perempuan seperti Marsinah mati muda?

Kepahlawanan, dalam makna sejatinya, bukan soal nama yang diukir di batu nisan atau piagam negara. Ia adalah sikap hidup untuk menolak diam terhadap ketidakadilan. 

Marsinah sudah membuktikannya. Kini giliran kita yang hidup, para pekerja, aktivis, akademisi, dan pembuat kebijakan untuk meneruskan nyala perlawanan itu dalam cara masing-masing.

***

*) Oleh : Ike Nurul Fitrotus Shoimah, Ketua KOPRI PC PMII Lamongan 2024-2025.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Lamongan just now

Welcome to TIMES Lamongan

TIMES Lamongan is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.