TIMES LAMONGAN, LAMONGAN – Setiap tanggal 20 Mei, bangsa Indonesia memperingati Hari Kebangkitan Nasional, yang menandai berdirinya Boedi Oetomo pada tahun 1908 sebagai simbol awal kesadaran kolektif untuk merdeka dari belenggu penjajahan.
Kebangkitan Nasional bukan sekadar peristiwa historis, tetapi representasi semangat kolektif untuk membangun bangsa berdasarkan nilai-nilai keadilan, kesetaraan, dan persatuan.
Namun, dalam kenyataan politik dan sosial hari ini, semangat tersebut seolah meredup, tertutup kabut dominasi oligarki yang semakin menguat di berbagai sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Oligarki adalah sistem kekuasaan yang dikendalikan oleh segelintir orang atau kelompok elit yang memiliki kekayaan, koneksi, atau kekuasaan politik. Di Indonesia, bentuk oligarki tidak hadir secara kasat mata seperti pada era feodalisme klasik, tetapi tumbuh subur melalui kolaborasi antara elite politik dan elite ekonomi.
Fenomena ini terlihat jelas dalam pola-pola kebijakan yang cenderung mengakomodasi kepentingan pemilik modal, dibandingkan kepentingan rakyat banyak.
Pilkada, pemilu legislatif, hingga pemilihan presiden kerap kali menjadi ajang pertarungan modal, bukan pertarungan gagasan. Calon-calon dengan dana besar lebih berpeluang tampil,
sementara mereka yang membawa visi perubahan dan keberpihakan pada rakyat kecil tersingkir oleh mekanisme politik transaksional. Akibatnya, kebijakan publik tidak lagi berpijak pada prinsip keadilan sosial, tetapi dikompromikan demi kelanggengan kekuasaan dan akumulasi keuntungan kelompok tertentu.
Ironisnya, dominasi oligarki seringkali beroperasi dalam kerangka demokrasi prosedural. Pemilu tetap berlangsung, kebebasan berpendapat secara formal masih dijamin, dan lembaga-lembaga demokrasi tetap berdiri.
Namun substansi demokrasi—yakni keterlibatan aktif rakyat dalam pengambilan keputusan dan kontrol terhadap penguasa—semakin memudar. Demokrasi Indonesia tampak seperti panggung sandiwara, di mana naskahnya ditulis oleh para oligark, dan rakyat hanya menjadi penonton.
Lemahnya partisipasi politik rakyat bukan hanya karena apatisme, tetapi juga akibat sistem yang tidak memberi ruang untuk keterlibatan yang bermakna. Representasi rakyat dalam parlemen semakin jauh dari aspirasi konstituen.
Wakil rakyat lebih sibuk memperjuangkan kepentingan partai dan kelompok bisnis yang mendanai mereka. Fenomena ini memperkuat dominasi oligarki dan melemahkan kepercayaan publik terhadap institusi demokrasi.
Memudarnya Semangat Kebangkitan
Dalam konteks tersebut, semangat Kebangkitan Nasional yang sejatinya berakar pada perjuangan kolektif untuk keadilan dan kemandirian, kini menghadapi erosi serius. Nasionalisme sebagai kekuatan pemersatu mulai dikikis oleh politik identitas dan pragmatisme elite.
Rasa solidaritas sosial tergantikan oleh persaingan antarkelompok yang disuburkan oleh polarisasi politik. Pendidikan karakter dan sejarah kebangsaan yang seharusnya menjadi pilar pembentukan kesadaran kolektif, tidak mampu menahan gelombang individualisme dan komersialisasi dalam masyarakat.
Kebangkitan Nasional adalah tentang keberanian untuk bermimpi dan berjuang demi nasib bersama. Namun dalam tatanan sosial yang dikendalikan oligarki, impian kolektif digantikan oleh narasi-narasi personal yang sempit.
Keberhasilan diukur dari kekayaan, bukan kontribusi terhadap bangsa. Para pemuda, yang dahulu menjadi motor penggerak perubahan, kini terjebak dalam pusaran materialisme dan kehilangan arah perjuangan ideologis.
Harapan tentu belum padam sepenuhnya. Di berbagai daerah, masih muncul gerakan masyarakat sipil yang mencoba melawan dominasi oligarki, memperjuangkan hak-hak dasar warga, dan mengawal jalannya demokrasi.
Namun perlawanan ini sering bersifat terfragmentasi dan tidak terorganisasi secara nasional. Minimnya konsolidasi dan dukungan sistemik membuat gerakan-gerakan tersebut mudah dikooptasi atau ditekan oleh kekuatan status quo.
Lemahnya oposisi politik juga menjadi faktor penting dalam suburnya dominasi oligarki. Koalisi besar yang mencakup hampir semua partai besar membuat tidak ada lagi kekuatan pengimbang yang efektif di parlemen. Padahal, dalam demokrasi yang sehat, keberadaan oposisi yang kuat adalah keniscayaan untuk mencegah kekuasaan yang absolut dan tidak terkontrol.
Membangun Ulang Spirit Kebangkitan adalah suatu keniscayaan, untuk itu diperlukan usaha kolektif untuk membangkitkan kembali semangat Kebangkitan Nasional dalam konteks kekinian.
Kebangkitan hari ini bukan lagi melawan penjajah asing, tetapi melawan penjajahan struktural oleh oligarki yang merampas kedaulatan rakyat. Gerakan ini harus dimulai dari kesadaran kritis, pendidikan politik, dan penguatan kapasitas masyarakat sipil.
Pendidikan harus menjadi garda terdepan dalam membentuk warga negara yang sadar, kritis, dan berani menyuarakan kebenaran. Kurikulum perlu menghidupkan kembali nilai-nilai nasionalisme progresif, bukan sekadar kebanggaan simbolik tetapi semangat membela rakyat dan menentang ketidakadilan.
Media juga memiliki peran penting dalam membongkar kepentingan oligarki yang tersembunyi di balik kebijakan publik. Sayangnya, banyak media arus utama yang justru telah menjadi bagian dari jaringan oligarki. Maka, perlu didukung munculnya media alternatif yang independen, yang dapat menjadi suara bagi mereka yang tidak bersuara.
Sebagai penutup di hari kebangkitasn nasional (Harkitnas) ini, semua lapisan masyarakat harus aware terhadap ancaman serius perusak spirit nasionalisme ini. Bahwa, dominasi oligarki adalah ancaman nyata bagi kelangsungan demokrasi dan cita-cita kemerdekaan Indonesia.
Ketika kekuasaan dipusatkan pada segelintir orang, maka harapan akan keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat menjadi ilusi. Memudarnya semangat Kebangkitan Nasional adalah refleksi dari kegagalan kita menjaga nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh para pendiri bangsa.
Namun sejarah mengajarkan bahwa perubahan selalu dimulai dari kesadaran dan keberanian untuk melawan. Kebangkitan Nasional harus kita tafsirkan ulang sebagai panggilan untuk membangun Indonesia yang bebas dari cengkeraman oligarki, dan mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat.
Karena sejatinya, kebangkitan tidak datang dari elite, tetapi dari rakyat yang sadar akan hak dan tanggung jawabnya sebagai pemilik sah republik ini. (*)
***
*) Oleh : Anshori, Dosen Fakultas Hukum Universitas Billfath Lamongan.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |