TIMES LAMONGAN, LAMONGAN – Berbicara tentang pancasila, tentu tidak terlepas dari peran salah seorang tokoh Nahdlatul Ulama (NU) yakni KH Abdul Wahid Hasyim. Pria kelahiran Jombang 1 Juni 1914 M atau bertepatan pada hari Jumat legi, Rabiul Awwal 1333 H ini merupakan anak pertama dari 15 orang anak dari pasangan Hadlratusyekh KH. Hasyim Asyari dengan Nyai Nafiqah binti Kiai Ilyas dan Ayahanda dari Presiden RI ke 4 KH. Abdurrahman Wahid.
Jika kita perhatikan dengan seksama, peran KH. Abdul Wahid Hasyim cukup sentral dalam perumusan pancasila sebagai asas tunggal bangsa Indonesia meskipun usianya masih terbilang muda, beberapa jabatan pun ia sandang antara lain saat Jepang membentuk badan yang bertugas menyelidiki usaha-usaha persiapan kemerdekaan atau dikenal dengan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Seperti diketahui bahwa KH Abdul Wahid Hasyim merupakan salah satu dari Tim 9 (sembilan) perumus dasar negara yang terdiri dari Soekarno, Moch Hatta, AA Maramis, KH A Wahid Hasyim, Abdul Kahar Muzakkir, Abikusno Tjokrosujoso, H Agus Salim, Ahmad Subardjo dan Muh Yamin. Kesemuanya merumuskan salah satu bunyi Piagam Jakarta yang kemudian disebut pancasila yaitu: “Ketuhanan, dengan Kewajiban Menjalankan Syari'at Islam Bagi Pemeluk-pemeluknya”.
Sempat terjadi silang pendapat ketika Mohammad Hatta mengutarakan aspirasi tentang Pembukaan (Preambule) kepada Rakyat indonesia bagian timur. Bahkan mereka mengancam akan memisahkan diri dari Indonesia jika diksi "ketuhanan" tidak dirubah esensinya.
Akhirnya, setelah berdiskusi dengan para tokoh agama ditetapkanlah bunyi poin pertama Piagam Jakarta yang selanjutnya disebut Pancasila itu dengan bunyi: “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Konsep Ketuhanan yang akomodatif bagi seluruh rakyat indonesia itu merupakan bentuk dari peran besar KH. Wahid Hasyim yang menjadi representasi organisasi NU dalam perumusannya.
Kiai Wahid Hasyim menilai, bahwa “Ketuhanan Yang Maha Esa” merupakan konsep tauhid dalam Islam. Sehingga tidak ada alasan ataupun celah bagi umat Islam untuk menolak konsep tersebut dalam Pancasila. Artinya bahwa umat Islam mempunyai hak menjalankan keyakinan agamanya tanpa mendiskriminasi keyakinan agama lain.
Dan menunjukkan bahwa negara Indonesia bukanlah negara sekuler dan bukan pula negara Islam, melainkan negara yang berupaya mengembangkan kehidupan beragama dan keagamaan dalam keanekaragaman agama, bahasa, suku, dan budaya kehidupan berbangsa dan bernegara.
Selain mampu menjabarkan Pancasila secara teologis dan filosofis terhadap rumusan awal yang diajukan oleh Soekarno pada 1 Juni 1945, Kiai Wahid Hasyim juga berani menegaskan bahwa sebagai masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama islam harus menunjukkan sikap inklusif terhadap kemajemukan yang ada di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini.
Artinya, pada titik inilah NU dan seluruh bangsa Indonesia bukan hanya wajib mengamalkan, tetapi juga wajib mengamankan Pancasila.
***
*) Oleh : Syihabuddin Ahmad, Kader GP Ansor Lamongan.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |