TIMES LAMONGAN, LAMONGAN – Harapan baru menyapa 2.400 anak-anak Pekerja Migran Indonesia (PMI) di Malaysia yang selama ini belajar di Sanggar Bimbingan dengan segala keterbatasan. Melalui kerja sama pendidikan yang diinisiasi KBRI Kuala Lumpur bersama 104 perguruan tinggi dari tanah air, peluang mereka untuk meraih masa depan kini semakin terbuka.
Kerja sama strategis itu ditandai dengan penandatanganan nota kesepahaman di Nilai, Malaysia. Langkah ini menjadi bagian dari upaya kolektif untuk memastikan anak-anak PMI tetap mendapatkan akses pendidikan yang layak, meski tumbuh besar jauh dari tanah air.
Seperti diketahui, ada sekitar 2.400 anak PMI yang saat ini menempuh pendidikan melalui 76 Sanggar Bimbingan (SB) di Semenanjung Malaysia. Sanggar-sanggar ini hadir sebagai ruang belajar alternatif dengan kondisi yang serba terbatas. Minim fasilitas, kekurangan tenaga pengajar, hingga keterbatasan dana operasional menjadi tantangan yang terus dihadapi.
Meski begitu, semangat belajar anak-anak PMI tidak pernah surut. Di ruang-ruang sederhana, mereka tetap menulis, membaca, dan berhitung, meski hanya bermodalkan papan tulis kecil atau buku seadanya. Kehadiran mahasiswa KKN dari berbagai kampus Indonesia menambah semangat baru. Para mahasiswa ini tidak hanya mengajar, tetapi juga menjadi sahabat sekaligus motivator bagi anak-anak PMI.
Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI Kuala Lumpur, Prof Dr Muhammad Firdaus, menegaskan bahwa program ini merupakan bukti nyata negara hadir untuk warganya.
“Kita ingin memastikan anak-anak PMI tetap mendapatkan pendidikan yang layak. Mereka adalah masa depan bangsa, dan kita tidak boleh membiarkan mereka kehilangan hak tersebut hanya karena orang tuanya bekerja di luar negeri,” ujar Prof Firdaus, Jumat (12/9/2025).
Menurut Prof Firdaus, kolaborasi dengan 104 perguruan tinggi sebagai bentuk gotong royong akademik. “Anak-anak PMI memiliki hak untuk belajar sama seperti anak-anak di tanah air. Kehadiran kampus-kampus Indonesia di Sanggar Bimbingan adalah wujud nyata komitmen bangsa dalam menjaga masa depan generasi kita,” katanya.
Daftar perguruan tinggi yang terlibat pun beragam, mulai dari kampus besar seperti Universitas Pertanian Bogor (IPB), Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Universitas Padjadjaran (Unpad), Universitas Negeri Surabaya (Unesa), hingga Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed).
Tak ketinggalan kampus berbasis Islam seperti Institut Agama Islam Al Fitrah Surabaya, Universitas Islam Lamongan (Unisla) dan Institut Agama Islam Al-Qodiri Jember yang ikut berkontribusi.
Keterlibatan perguruan tinggi dalam program ini tidak hanya soal transfer ilmu. Lebih dari itu, kehadiran mereka juga menghadirkan rasa kebersamaan, solidaritas, sekaligus wajah negara di tengah diaspora.
Namun, perjalanan menuju pendidikan yang lebih layak bagi anak-anak PMI masih panjang. Keterbatasan dana, lokasi sanggar yang terpencar, hingga minimnya tenaga pengajar terlatih menjadi pekerjaan rumah bersama.
Apalagi pendidikan sejatinya tidak mengenal batas geografis. Di manapun anak bangsa berada, hak untuk belajar tetap harus dijunjung tinggi. Bagi anak-anak PMI, sekolah bukan sekadar tempat menimba ilmu, tetapi juga ruang menjaga identitas, budaya, dan rasa kebangsaan.
Karena itu, program pendidikan lintas batas ini menjadi begitu penting. Kehadiran perguruan tinggi di Sanggar Bimbingan tidak hanya menutup kekurangan guru, tetapi juga memperkuat diplomasi budaya. Dari ruang-ruang belajar sederhana, lahir ikatan emosional antara masyarakat Indonesia di perantauan dengan tanah air.
Lebih jauh, pendidikan lintas batas juga menjadi wujud nyata soft diplomacy Indonesia. Melalui mahasiswa, dosen, dan relawan yang dikirim, perguruan tinggi menyebarkan ilmu sekaligus menanamkan nilai kebersamaan, religiusitas, dan semangat kebangsaan.
Salah satu kampus yang terlibat aktif adalah Unisla. Melalui kerja sama ini, Unisla berkomitmen menghadirkan solusi nyata bagi pendidikan anak-anak PMI di Malaysia.
Rektor Unisla, Dr Abdul Ghofur, menegaskan bahwa keikutsertaan kampusnya selaras dengan misi tridharma perguruan tinggi. “Mahasiswa Unisla bukan hanya hadir sebagai pengajar, tetapi juga sebagai wajah bangsa yang membawa semangat Islam, ilmu, dan kemanusiaan. Kami ingin anak-anak PMI tetap merasa dekat dengan tanah air, meski tumbuh di negeri orang,” ucapnya.
Komitmen itu diwujudkan melalui pengiriman mahasiswa Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang dibekali pelatihan khusus. Mereka tidak hanya belajar metodologi mengajar, tetapi juga materi pendidikan inklusif, lintas budaya, serta penguatan karakter. Fokus pengabdian diarahkan pada literasi, numerasi, pendidikan agama, hingga motivasi belajar.
“Kami ingin memastikan anak-anak PMI tidak tertinggal dari segi literasi dasar, teknologi, maupun nilai karakter. Kolaborasi ini adalah ladang pengabdian yang kami anggap sama pentingnya dengan proses belajar mengajar di kampus sendiri,” ujarnya.
Selain itu, dikatakan Ghofur, Unisla menyiapkan dukungan akademik berupa bahan ajar, modul kontekstual, hingga program pelatihan relawan lokal. Universitas ini juga mendorong riset tentang pendidikan anak migran untuk dipublikasikan di forum akademik nasional maupun internasional.
“Kami ingin ada kesinambungan. Bukan hanya sesekali datang lalu selesai, tetapi terbangun sistem pendampingan yang berkelanjutan. Anak-anak PMI harus merasakan kehadiran universitas sebagai sahabat belajar, meski mereka jauh dari tanah air,” tuturnya.
Harapan pun tumbuh. Di ruang-ruang belajar sederhana di Malaysia, anak-anak PMI kini tidak hanya mempelajari huruf dan angka, tetapi juga merajut mimpi tentang masa depan.
Di balik itu, ada kontribusi nyata dari kampus-kampus Indonesia, termasuk Unisla, yang memilih untuk tidak tinggal diam. Pendidikan sekali lagi membuktikan dirinya sebagai jembatan emas yang mampu menyatukan bangsa, di manapun anak-anak itu berada. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: KBRI Kuala Lumpur Kerja Sama 104 Perguruan Tinggi dari Tanah Air
Pewarta | : Moch Nuril Huda |
Editor | : Deasy Mayasari |