TIMES LAMONGAN, LAMONGAN – Dari gulungan tanaman air yang sering dianggap gulma, lahirlah karya bernilai tinggi. Eceng gondok, yang tumbuh melimpah di tepian Bengawan Solo, diolah menjadi tas elegan dan produk kerajinan lain. Proses kreatif anyaman eceng gondok ini digagas oleh mahasiswa Kuliah Kerja Nyata (KKN) Universitas Islam Lamongan (Unisla) bersama masyarakat Desa Meluwur, Kecamatan Glagah, Kabupaten Lamongan.
Menurut Omar Faruq, Wakil Koordinator KKN Desa Meluwur, ide itu muncul dari potensi besar yang selama ini belum tersentuh. “Di Desa Meluwur itu banyak sekali eceng gondok, baik di sungai maupun kali kecil. Selama ini belum dimanfaatkan. Kami coba memberi pelatihan kepada ibu-ibu PKK dan anak-anak madrasah agar tanaman yang dianggap gulma ini bisa punya nilai jual,” ucap Faruq, Rabu (3/9/2025).
Menurut Faruq, proses pembuatannya ternyata tidak sederhana, karena membutuhkan ketelatenan tangan perajin hingga sentuhan seni agar menjadi barang fesyen yang layak dipasarkan. Tahap awal dimulai dengan pengumpulan batang eceng gondok dari waduk dan sungai. Tanaman dibersihkan, dipotong, lalu dijemur sekitar sepuluh hari.
“Proses pengeringan ini sangat menentukan. Kalau terlalu lembab, serat akan mudah berjamur dan anyaman cepat rapuh,” katanya.
Setelah kering, batang dianyam menggunakan berbagai teknik, mulai dari melingkar, tikar, hingga bolak-balik. Hasil anyaman kemudian dipadukan dengan motif sederhana untuk mempercantik tampilan.
“Proses berikutnya adalah pembuatan handle atau tali tas. Biasanya memakai kulit sapi agar lebih kuat dan awet,” ujar Faruq.
Bagian dalam tas tak kalah penting. Busa dan kain dipotong sesuai pola, lalu dijahit agar rapi. Finishing menjadi tahap akhir dengan pengecatan, pewarnaan alami, hingga pelapisan khusus. Hasilnya, tas anyaman eceng gondok terlihat elegan dan siap dipasarkan, bahkan berpeluang ekspor.
Selain tas, mahasiswa KKN bersama warga juga membuat gantungan kunci, dompet, serta hiasan rumah. Produk-produk kecil ini dinilai cocok sebagai souvenir dan lebih mudah dipasarkan.
Dalam pelatihan, mahasiswa KKN membagi proses menjadi lima tahapan. Pertama, pengumpulan batang eceng gondok terbaik, panjang, dan besar sesuai kebutuhan. Kedua, pengeringan selama 10 hari, tergantung cuaca.
Kemudian ketiga, penyiraman kembali setelah kering untuk meningkatkan daya tahan. Keempat, proses penipisan bahan dengan cara dipenyet sesuai pola. Terakhir, penganyaman hingga terbentuk produk jadi.
“Setelah semua jadi, finishing penting agar kualitasnya terjaga. Harapan kami, produk ini bisa dipasarkan lebih luas,” ujar Faruq.
Menurut Rektor Unisla, Dr H Abdul Ghofur, inovasi pemanfaatan eceng gondok ini memberi dua manfaat sekaligus.
“Ini membuka peluang usaha baru bagi masyarakat desa dan mengurangi dampak lingkungan dari tanaman air yang sering dianggap gulma pengganggu,” tuturnya.
Dengan pelatihan yang berkelanjutan, dikatakan Ghofur, Desa Meluwur berpotensi tumbuh sebagai sentra kerajinan berbahan eceng gondok. “Jika mampu menjaga kualitas, produk ini bisa masuk ke pasar ekspor,” kata dalam sambutan.
Tak hanya tas eceng gondok yang mewarnai pameran, di penutupan KKN Unisla 2025 juga menghadirkan beragam inovasi lain. Ada kerupuk ikan lele, teh kelor, lilin aromaterapi, songkok, hingga tas anyaman kelapa. Semua produk mendapat apresiasi karena dinilai berpotensi menembus pasar nasional.
Ghofur juga menegaskan bahwa karya mahasiswa bukan sekadar tugas akademik. “Kami melihat karya-karya ini punya prospek luar biasa. Jika dikelola dengan baik, produk mahasiswa KKN tidak hanya berhenti di tingkat lokal, tapi bisa berkembang ke level nasional,” ucapnya.
Sementara itu Wahyudin, peserta KKN dari Desa Waruk, juga menilai pengalaman ini berharga. “Kami belajar langsung dari lapangan, bagaimana membangun usaha kecil bersama warga. Semoga karya ini bermanfaat jangka panjang dan menjadi kebanggaan Unisla,” ujarnya.
Momentum lahirnya karya nyata dari tangan kreatif mahasiswa dan masyarakat, eceng gondok yang dulu dianggap tidak berguna, kini menjelma menjadi produk bernilai tinggi yang membanggakan Lamongan. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Anyaman Eceng Gondok Desa Meluwur, dari Gulma Bengawan Solo Menjadi Kerajinan Bernilai Tinggi
Pewarta | : Moch Nuril Huda |
Editor | : Deasy Mayasari |