TIMES LAMONGAN, LAMONGAN – Istilah “sogokan hasanah” yang dilontarkan KH Ulil Abshar Abdalla dalam forum DPR baru-baru ini memantik perdebatan luas di ruang publik. Ungkapan ini bukan sekadar permainan kata, melainkan menyingkap paradoks yang tajam dalam kehidupan sosial dan politik kita: apakah setiap bentuk “membayar” selalu bermakna sogokan, atau ada konteks di mana uang justru menjadi sarana menegakkan kebenaran?
Pertanyaan ini mengajak kita menelusuri ulang logika moral di balik istilah tersebut. Bagaimana manusia memperlakukan kebenaran sebagai nilai yang kadang bisa “dibeli”, dijaga, atau bahkan diinvestasikan?
Di sinilah pentingnya membedakan antara sogokan dan non-sogokan dalam perspektif Islam, sekaligus meninjau ulang maknanya dalam pandangan ekonomi pengetahuan modern.
Polemik bermula saat KH Ulil Abshar Abdalla, Ketua PBNU, menanggapi pertanyaan anggota Baleg DPR Fraksi PAN, Saleh Partaonan Daulay, dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (22/1/2025).
Ketika ditanya apakah dukungan terhadap RUU Minerba bisa dianggap sogokan pemerintah, KH Ulil menimpali dengan canda, “Kalaupun sogokan, itu sogokan yang hasanah, ha-ha-ha.”
Meski bernada ringan, frasa ini kemudian menjadi blunder. Publik menilainya sebagai pernyataan yang kontroversial, karena menggabungkan dua kata yang secara nilai bertolak belakang: sogokan (bermakna negatif) dan hasanah (bermakna baik).
Dalam ilmu mantiq (logika Islam), terdapat kaidah qa‘idah al-tanaqud yang menyatakan bahwa dua proposisi yang bertentangan tidak dapat benar secara bersamaan (la yajtam‘u wa la yartafi‘u). Artinya, “sogokan hasanah” adalah bentuk kontradiksi logis yang melanggar prinsip dasar berpikir lurus.
Barangkali, latar belakang filsafat KH Ulil membuat beliau gemar menggunakan diksi reflektif yang memancing tafsir mendalam. Namun, masyarakat awam tidak selalu siap menerima pendekatan filsafat dalam isu publik.
Dalam dunia yang dikuasai logika headline, konteks sering terhapus oleh sensasi. Akibatnya, istilah seperti “sogokan hasanah” mudah disalahpahami bahkan diparodikan menjadi “korupsi hasanah” atau “memelihara tuyul yatim.”
Menjual Kebenaran, Membeli Kebatilan
Dalam hadis sahih disebutkan: “Ar-rasyi wal-murtasyi fin-nar” “Pemberi dan penerima sogokan sama-sama masuk neraka.”
Namun, tidak semua pemberian otomatis dikategorikan sebagai risywah (sogokan). Ulama fikih menjelaskan, sogokan terjadi ketika uang digunakan untuk memutarbalikkan kebenaran (haqq) menjadi kebatilan (bāṭil), atau sebaliknya.
Dalam Fathul Mu’in karya Syekh Zainuddin Al-Malibari, disebutkan bahwa bila sebuah jabatan hendak direbut orang zalim melalui jalan uang. Maka orang saleh boleh bahkan wajib membayar dalam rangka mempertahankan kebenaran. Pembayaran seperti ini bukan risywah, melainkan membeli kebenaran demi menolak kebatilan.
Jadi, secara syar‘i, yang disebut sogokan adalah ketika seseorang “menjual kebenaran” untuk kepentingan batil. Sebaliknya, jika uang digunakan untuk memperkuat posisi kebenaran yang dapat dibuktikan dan dipertanggungjawabkan, maka itu bukan sogokan, melainkan bagian dari jihad menegakkan kebenaran.
Dalam knowledge-based economy yang diperkenalkan Peter F. Drucker (1969), tindakan “membeli kebenaran” dapat dianalogikan sebagai bentuk investasi terhadap aset tak berwujud (intangible assets) yakni nilai, reputasi, dan legitimasi moral.
Sebuah perusahaan, misalnya, “membeli” kepercayaan publik melalui program tanggung jawab sosial (CSR). Jika tujuan dan dampaknya benar, maka investasi itu bukan sogokan, melainkan bentuk membeli legitimasi moral.
Sebaliknya, ketika uang dipakai menutupi kebohongan, seperti praktik greenwashing Volkswagen tahun 2015 yang memanipulasi uji emisi dengan software palsu itulah contoh “membeli legitimasi palsu.” Dalam perspektif agama, itu bisa disebut risywah.
Konsep ini juga tercermin dalam sejarah peradaban Islam. Mahmoud M. Galander (2001) dalam penelitiannya “Written Communication and the Socio-political and Cultural Transformation in Islam” menjelaskan bahwa pada masa kekhalifahan, para penulis dan penyebar ilmu diberi imbalan oleh penguasa sebagai penghargaan atas karya mereka yang menyebarkan pengetahuan dan nilai-nilai kebenaran. Pembayaran tersebut bukan risywah, tapi apresiasi terhadap kontribusi keilmuan.
Dari sini dapat disimpulkan dua kategori penting: Pertama, Non-sogokan (membeli kebenaran). Pembayaran yang bertujuan menegakkan kebenaran dan menolak kezaliman, dengan dasar moral dan fakta yang dapat dipertanggungjawabkan.
Kedua, Sogokan sejati (menjual kebenaran). Pembayaran yang dilakukan untuk membalikkan keadaan, melegitimasi kebatilan, dan merusak keadilan.
Maka, istilah “sogokan hasanah” secara logika dan syariah adalah bentuk kontradiksi yang tidak mungkin berdamai. Sogokan tidak bisa menjadi hasanah, sebagaimana kebatilan tidak bisa menjadi kebenaran. Membayar demi kebenaran dengan niat menegakkan keadilan itu bukan sogokan, melainkan bentuk ikhtiar moral.
***
*) Oleh : Ahmad Sirajuddin, M.MT., Ketua Center for Islamic Economics Studies, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN KHAS Jember & Pengasuh Pondok Pesantren Tanbihul Ghofilin Lamongan.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |