TIMES LAMONGAN, LAMONGAN – Akhir Juni menandai berakhirnya masa liburan Sekolah. Di banyak daerah, siswa mulai bersiap untuk kembali ke sekolah. Tas baru, buku baru, sepatu baru semuanya terasa segar. Namun ada satu hal yang sering luput dari perhatian; kesiapan mental siswa untuk kembali belajar.
Libur panjang bukan hanya sekadar jeda belajar, melainkan masa pergeseran ritme hidup anak. Pola tidur berubah, jam gadget meningkat, aktivitas akademik nyaris berhenti.
Maka ketika tahun ajaran baru dimulai, tidak semua anak serta-merta siap kembali dalam suasana belajar yang disiplin, fokus, dan kompetitif. Sebagian malah merasa cemas, malas, atau tertekan.
Fenomena ini bukan sekadar “drama anak sekolah”. Sebuah riset dari American Psychological Association menunjukkan bahwa transisi dari libur panjang ke masa sekolah dapat menimbulkan stres ringan hingga sedang atau yang biasa di sebut dengan istilah “post holiday blues”, terutama pada anak-anak usia SD dan SMP.
Mereka menghadapi tekanan sosial baru, target akademik baru, bahkan kadang guru baru yang belum akrab. DiIndonesia, transisi ini terasa semakin berat karena sering tidak disiapkan secara sistematis.
Banyak sekolah langsung tancap gas masuk hari pertama, langsung pembelajaran. Tidak ada masa adaptasi, tidak ada ruang dialog, apalagi konseling emosional.
Padahal, Anak yang belum siap secara emosional akan sulit menerima materi. Bahkan bisa terjadi penurunan semangat, ketidak nyamanan sosial, hingga gangguan konsentrasi di kelas.
Lalu, apa yang bisa dilakukan: Pertama, sekolah perlu menyediakan masa transisi minimal satu minggu dengan pendekatan ringan, pengenalan lingkungan sekolah, refleksi liburan, permainan edukatif, dan pembiasaan kembali terhadap rutinitas belajar. Ini bukan pemborosan waktu, melainkan investasi pada kesiapan jiwa anak.
Kedua, peran guru, wali kelas menjadi sangat vital. Guru tidak cukup hanya memeriksa kehadiran dan buku, tetapi juga perlu membaca ekspresi, semangat, dan perubahan perilaku siswa. Ini membutuhkan kepekaan emosional dan pendekatan humanistik.
Ketiga, orang tua juga harus dilibatkan sejak awal. Jangan sampai tahun ajaran baru hanya disambut dengan belanja seragam dan buku. Orang tua perlu berdialog dengan anak: apa harapan mereka, apa ketakutannya, dan apa yang perlu disiapkan bersama.
Keempat, pemerintah daerah dan dinas pendidikan bisa menginisiasi program “Sekolah Ramah Kembali” semacam panduan atau gerakan nasional agar setiap sekolah memfasilitasi masa adaptasi yang sehat bagi siswa.
Dalam konteks pendidikan karakter, ini adalah momen emas. Menanamkan rasa aman, semangat belajar dan hubungan sosial sejak awal tahun ajaran akan menjadi landasan kuat bagi pembentukan sikap positif anak sepanjang tahun.
Sayangnya, dalam sistem pendidikan kita, aspek non-akademik masih sering diposisikan sebagai pelengkap. Pendidikan mental, karakter, dan emosional belum menjadi pusat perhatian kebijakan. Padahal, anak bukan hanya kepala untuk diisi pengetahuan, tapi juga hati yang perlu disentuh dan disiapkan.
Tahun ajaran baru seharusnya bukan sekadar ganti kalender dan materi ajar. Ia harus menjadi titik balik untuk memperkuat semangat belajar anak, membangun kembali budaya kelas yang sehat, dan menata ulang relasi sosial yang mungkin sempat renggang.
Jika sekolah hanya mengejar target akademik sejak hari pertama, maka yang akan hilang bukan hanya semangat anak, tetapi juga makna dari proses pendidikan itu sendiri.
***
*) Oleh : Azza Abidatin Bettaliyah, S.I.Kom., M.Med.Kom, Dosen Fakultas Sains dan Teknologi Unisla serta Kepala Sub Bagian Humas Unisla.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |