TIMES LAMONGAN, LAMONGAN – Proses pembelajaran adalah proses belajar yang melibatkan pendidik, peserta didik dan orang-orang di sekitar untuk mendapatkan manusia-manusia terdidik. Sebagaimana diamanatkan oleh para pendahulu, Indonesia harus memperhatikan generasi penerus, salah satunya dalam bidang pendidikan. Seluruh masyarakat harus mendapatkan pendidikan yang layak.
Tulisan ini tidak akan terlalu banyak membahas kurikulum yang digunakan dalam pendidikan. Sebab, kita semua sama-sama tahu bagaimana panjangnya proses dalam menentukan suatu kurikulum yang berjalan. Lalu, untuk apa tulisan ini ada?
Tulisan ini kurang lebih mencoba menghadirkan sudut pandang bagaimana seorang guru menghadapi kejadian-kejadian yang ada di dunia pendidikan. Sesuatu yang mungkin tidak terlihat oleh banyak orang, sehingga sering kali dianggap bekerja menjadi seorang pendidik hanyalah begitu-begitu saja.
Dianggap mudah. Namun, tidak banyak orang yang berani mengambil langkah yang sama dengan menjadi pendidik. Bahkan sering kali stigma masa lalu tentang seorang laki-laki terutama yang dipertanyakan keseriusannya dalam menjalin hubungan dengan statusnya sebagai seorang pendidik.
Pendidik (guru) di Indonesia memiliki terlalu banyak jenjang atau golongan. Guru honorer, KKI (Kontrak Kerja Individu), PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) dan PNS (Pegawai Negeri Sipil).
Sebagian sekolah negeri memiliki keempat golongan ini. Belum lagi ditambah dengan golongan-golongan guru lain seperti guru penggerak dan sejenisnya. Hal ini sedikit banyak mempengaruhi bagaimana suatu lingkungan pendidikan itu berjalan.
Terlalu banyak jenjang jarak yang akhirnya harus dipersatukan. Sebuah hal yang terlihat sederhana, namun cukup sulit terealisasikan. Jarak ini memunculkan beberapa hal utama yang sering kali mengakibatkan kecemburuan sosial. Perbedaan hak, pelimpahan kewajiban, hingga cara kerja yang paling sering terjadi.
Perbedaan hak yang terjadi semestinya diikuti oleh kewajiban yang juga disesuaikan dengan hak yang diterima. Namun, yang sering terjadi adalah penerima hak terbesar hanya "mau" mendapatkan kewajiban sesuai batas minimum aturan.
Hal ini tentu menghadirkan pandangan bahwa mereka yang haknya terbesar bisa mendapatkan hal itu, maka golongan-golongan lainnya pun seharusnya bisa mendapatkan hal yang sama.
Pandangan seperti ini pada akhirnya harus mengorbankan salah satu golongan yang "tertindas". Honorer. Mereka lah yang pada akhirnya dapat pelimpahan tugas. Sebab, mekanisme penerimaan hak mereka berbeda dengan tiga golongan lainnya.
Jika ketiga golongan itu sudah memilki kekuatan sebagaimana yang disampaikan pemerintah. Maka, guru honorer ini berada di zona abu-abu. Sehingga memunculkan sebuah komentar yang menarik yang kira-kira bisa saya parafrasakan seperti ini: Guru itu terutama yang honorer berada di zona abu-abu.
Seharusnya diberikan ketetapan yang jelas. Kalau kami dianggap sebagai buruh, maka berikan kami hak sebagaimana ketentuan upah minimum untuk buruh.
Jika kami dianggap sebagai profesi, seharusnya ada ketentuan tertentu untuk hal itu. Tapi, tidak adanya kejelasan tentang hal ini pada akhirnya hanya memberikan angin surga pada guru golongan ini. Dijanjikan pahala dan masuk surga.
Sebuah ironi untuk sebuah mimpi besar yang dicita-citakan oleh para pendiri negeri. Ketika seorang pendidik masih berusaha memenuhi kesejahteraannya di saat yang bersamaan harus melahirkan generasi-generasi penerus yang akan melanjutkan bagaimana negeri ini di masa yang akan datang.
Di tengah "ketidakpastian" hak, sering kali cara kerja pendidik menjadi bahan perbincangan. Sebab, satu sama lain memiliki cara kerja yang berbeda. Padahal, jika dianalogikan seharusnya yang bisa menilai seorang pedagang itu bagus atau tidak adalah pembeli yang berinteraksi dengan pedagang.
Bukan pedagang yang lain. Namun, yang terjadi antara satu guru dengan yang lainnya memberikan komentar yang tidak jarang terkesan "menjatuhkan". Tapi, memang begitu yang umumnya terjadi antara pedagang dengan pedagang yang lainnya, kan?
Menjadi seorang pendidik sering kali dianggap sebagai pekerjaan sederhana. Sebuah pekerjaan yang sebenarnya bisa dilakukan oleh siapa saja. Sebab hanya berurusan dengan mengajar anak. Namun, sesuatu yang mungkin dilupakan oleh kebanyakan orang bahwa pendidik juga pekerjaan yang sama dengan pekerjaan yang ada pada umumnya.
Pekerjaan yang sama-sama memiliki teman sejawat dalam pekerjaan, pekerjaan yang memiliki objek untuk dikerjakan, pekerjaan yang juga memiliki target pekerjaan.
Pekerjaan sebagai seorang pendidik bahkan seharusnya merupakan pekerjaan yang lebih berat dibandingkan dengan pekerjaan yang lainnya. Sebab terlalu banyak variabel yang harus dihadapi dan diselesaikan.
Jika pada umumnya pekerjaan hanya berhadapan dengan teman kerja dan konsumen, maka seorang pendidik harus siap berhadapan dengan banyak pihak. Lingkungan kerja yang bahkan sampai tingkat kementerian, peserta didik, orang tua peserta didik. Begitu banyak variabel yang harus dihadapi.
Selain itu, seorang pendidik sering kali hanya dianggap pekerjaannya sebatas mengajar. Padahal, sesuatu yang tidak diketahui banyak orang adalah beban administrasi yang dihadapi di setiap variabel. Belum lagi tugas tambahan lainnya.
Jika orang berkata bahwa pekerjaan sebagai pendidik adalah pekerjaan sebatas mengajar saja. Mudah. Sesuatu yang sepertinya harus disadari bersama, bahwa pekerjaan sebagai pendidik (guru) bukan lah sebatas mengajar. Namun juga mendidik. Bahkan ditambah dengan beban administrasi lainnya.
Pekerjaan yang bahkan terbuka kesempatannya untuk dilakukan selama 24 jam dalam sehari terutama ketika hal-hal tidak terduga, bahkan sederhana sebatas peserta didik bertanya di luar jam kerja terkait tugas dan materi yang belum mereka pahami.
***
*) Oleh : Anggitya Alfiansari, Dosen Pendidikan Bahasa Indonesia, Universitas Billfath Lamongan.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |